Kamis, 13 Juni 2013

Waspadai Logo Halal pada Produk

Jumlah produk yang berlabel halal palsu angkanya cukup tinggi yaitu 40 hinggga 50 persen dan ini adalah produk-produk yang telah mendapat registrasi sehat dan baik dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (Lukmanul Hakim, Direktur LP-POM MUI, Agustus 2012.)
Saat ini ditengarai masih banyak produk terutama makanan dan minuman yang menggunakan label/logo halal palsu di kemasannya. Karena itu umat Islam harus berhati-hati terhadap adanya label tersebut yang merupakan akal-akalan para pengusaha untuk menggaet konsumen Muslim ataupun karena ketidakpahaman akan peraturan yang ada.
Terlepas dari apa motivasi para pengusaha ini dalam mencantumkan label secara “asal”, yang jelas bagi konsumen Muslim, keberadaan label tidak resmi ini berpotensi menyesatkan bahkan menipu. Karena pencantuman label tersebut tanpa melalui pengujian oleh badan yang berkompeten untuk memastikan bahwa benar-benar produk di dalamnya HALAL.

Produsen yang akan mencantumkan label halal harus memiliki sertifikat halal lebih dulu. Tanpa sertifikat halal MUI, izin pencatuman label halal tidak akan diberikan pemerintah. Sampai saat ini memang belum ada aturan yang menetapkan bentuk logo halal yang khas, sehingga pada umumnya produsen mencetak tulisan halal dalam huruf latin dan/arab dengan bentuk dan warna yang beragam.
Akan tetapi beberapa produsen sudah membuat logo halal dengan bentuk logo MUI dengan mencantumkan nomor sertifikat halal yang dimilikinya. Hal ini dirasakan lebih aman untuk produsen karena masih cukup banyak produk yang beredar di pasaran yang mencantumkan label halal tanpa memiliki sertifikat halal MUI.
Sejumlah kasus penggunaan label/logo halal palsu ditemukan di beberapa daerah, di antaranya di Nusa Tenggara Barat, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, DKI Jakarta dan daerah lainnya.
Salah satu temuan terkini adalah di Kalimantan Tengah. Menurut Ketua Tim Perlindungan Halal Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah, Rahmat Junaidi, Kota Waringin Timur merupakan salah satu daerah yang cukup tinggi pelanggaran terhadap pemakaian logo halal ini. Bahkan di sejumlah toko dan pasar swalayan di Kota Sampit, selain makanan berlabel halal illegal, ditemukan pula makanan yang sudah kedaluwarsa.
Sementara itu, masih menurut Rahmat, di Kabupaten Kapuas, angka temuan produk pangan yang berlabel halal tapi palsu cukup tinggi. Ada 31 sampel yang yang diambil dari lima toko dan dua pasar swalayan yang mencantumkan label halal tapi palsu.
Pengusaha makanan yang menggunakan label halal secara illegal, kata Rahmat, tidak boleh lagi menggunakan label tersebut sebelum memiliki sertifikat halal. Apabila tetap menggunakan label halal sebelum memiliki sertifikat halal, maka akan ditindak dan produk makanannya ditarik dari pasaran. Masih maraknya penggunaan label halal secara ilegal di daerah ini, ujar Rahmat, disebabkan kurangnya sosialisasi dari aparat terkait.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim mengakui saat ini memang banyak produk dengan label halal palsu . Jumlah produk yang berlabel halal palsu angkanya cukup tinggi yaitu 40 hinggga 50 persen dan ini adalah produk-produk yang telah mendapat registrasi sehat dan baik dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Dengan beredarnya logo/label halal palsu tersebut tentu saja yang dirugikan adalah konsumen Muslim. Oleh karena itu konsumen perlu memahami informasi tentang produk yang akan dikonsumsinya supaya tidak terjebak dalam produk yang tidak halal dan keragu-raguan atau syubhat. Cara yang paling mudah adalah dengan teliti membaca label/logo yang melekat pada kemasan produk.
Berikut ini diuraikan beberapa hal yang perlu diteliti oleh konsumen sebelum memutuskan untuk mengonsumsi suatu produk yang kami kutip dari majalah Jurnal Halal.
1.  Pahami Bahasa dan Tulisan pada Produk.
Ini langkah pertama yang harus diperhatikan oleh konsumen adalah memahami bahasa atau tulisan. Hal ini sangat perlu karena Indonesia saat ini tengah kebanjiran produk impor baik legal maupun illegal. Meskipun aturan yang berlaku mewajibkan produsen mencantumkan informasi yang dapat dipahami oleh konsumen pada umumnya, namun pada kenyataannya ada produk yang beredar di pasaran dengan tulisan atau bahasa yang sama sekali tidak dapat dipahami. Langkah konsumen yang terbaik dalam menghadapi produk seperti ini adalah menghindarinya. 

2.  Perhatikan Nomor Pendaftaran BPOM.
Produk yang diproduksi dan beredar di Indonesia seharusnya terdaftar pada lembaga pemerintah yang berwenang yaitu BPOM dan mendapatkan nomor pendaftaran. Nomor pendaftaran untuk produk pangan adalah MD atau SP untuk industri kecil. Sedangkan produk impor mendapat nomor registrasi dengan kode ML. Kode CD diberikan untuk produk kosmetika lokal dan CL untuk produk luar. Adapun kode TR diperuntukkan bagi produk obat tradisional (jamu) dalam negeri dan TL untuk produk impor. Untuk hal ini jika tidak ada nomor tersebut sebaiknya konsumen mewaspadainya, karena besar kemungkinan logo halal yang ada adalah bukan dari BPOM.

3.  Teliti Nama Produk, Produsen dan Alamat Produksinya.
Nama dan alamat produsen tidak selalu sama dengan pabrik yang memproduksinya. Saat ini ada perusahaan tertentu yang sudah mendapat sertifikat halal untuk produk tertentu di Indonesia, kemudian memproduksi produk yang persis sama di pabrik lain di luar negeri. Padahal sertifikat halal MUI yang diberikan hanya kepada produk yang diproduksi di Indonesia.
Pada kasus lain, ada produsen yang sudah dikenal masyarakat luas sebagai produsen produk bersertifikat halal kemudian mengeluarkan produk baru yang tidak disertifikasi halal. Konsumen yang tidak teliti akan otomatis beranggapan bahwa produk apa pun yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut pasti halal. Hal-hal seperti ini tentunya menyesatkan konsumen. Oleh karena itu teliti nama produk, produsen dan alamat produksinya.

4.Teliti Komposisi Bahan atau Ingredients.
Hal penting selanjutnya yang harus diperhatikan oleh konsumen adalah daftar atau komposisi bahan atau istilah lain ingredients yang terkandung dalam produk yang akan dikonsumsi. Istilah bahan yang digunakan jika diperhatikan masih beragam. Ada yang sudah menggunakan bahasa Indonesia, ada yang masih menggunakan istilah asing atau dapat ditemukan juga penggunaan kode. Istilah asing yang perlu dikritisi kehalalannya antara lain emulsifier, atau bahan pengemulsi, stabilizer atau bahan penyetabil, shortening, tallow, gelatin dan collagen. Sedangkan lard adalah jenis yang harus dihindari karena merupakan istilah untuk lemak babi yang sudah pasti keharamannya.
Kode yang sering muncul adalah kode untuk bahan pewarna dan kode E yang merupakan kode untuk bahan tambahan atau food additives. Tidak semua bahan dengan kode E perlu dicurigai kehalalannya. Beberapa contoh kode E yang perlu diperhatikan karena mungkin berasal dari hewan adalah E422 (gliserol/gliserin), E430-E463 (asam lemak dan turunannya) dan E470-E495 (garam atau ester asam lemak). Sedangkan E334 adalah kode untuk L-(+)-tartaric acid yang merupakan hasil samping industri wine.

5.  Menambah Pengetahuan Akan Produk Halal.
Untuk dapat mengetahui produk dan bahan-bahan mana yang perlu dikritisi, konsumen dituntut untuk terus menerus menambah pengetahuannya. Dengan demikian akan terbangun konsumen yang pintar dan kritis, sehingga mendorong produsen untuk lebih bertanggung jawab dalam berproduksi. Walhasil, pameo ‘konsumen adalah raja’ dapat tetap dipertahankan.
Kami sangat menganjurkan konsumen Muslim Indonesia untuk mempunyai pengetahuan yang memadai tentang produk-produk yang meragukan kehalalannya walaupun sudah ada logo halal pada kemasannya. Teliti sebelum membeli. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar