Hukum Zat Pewarna Makanan Dari Serangga



Pertanyaan
Assalamu’alaykum warahmatullah
Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini berlangsung sangat cepat, termasuk di bidang pangan. Sehingga bahan-bahan yang tak diduga semula, kini malah dapat dimanfaatkan untuk bahan konsumsi. Termasuk bahan pewarna untuk makanan dari serangga.
Tentang hal ini, saya mendapat informasi dari rekan yang bekerja di industry pengolahan makanan, ada sejenis serangga yang katanya dari kawasan Amerika Selatan dan Meksiko, dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat pewarna untuk produk pangan, obat-obatan dan kosmetika. Maka saya ingin bertanya, apakah hukumnya memanfaatkan dan menggunakan hewan serangga itu untuk bahan makanan yang kita konsumsi?
Demikian pertanyaan dari kami dan atas jawaban yang diberikan kami mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.
Wassalam
Hendri
Kawasan Industri Bekasi

Jawaban:
Setelah berkomunikasi dengan LPPOM MUI tentang hal ini, kami mendapat penjelasan, serangga yang dimaksud adalah Cochineal yang memang banyak terdapat di kawasan Amerika Selatan dan Meksiko. Hewan ini menghasilkan Asam Carminic sampai 17-24% dari bobot tubuhnya yang dapat diekstraksi dan dibuat pewarna carmine untuk produk konsumsi.

Menurut pendapat Madzhab Syafi’i, pemanfaatan serangga untuk bahan konsumsi hukumnya haram. Dengan demikian, zat pewarna yang diambil dan dibuat dari yang haram, maka hukumnya haram pula. Sehingga dari pendapat Imam Madzhab ini, produk pangan, obat-obatan dan kosmetika yang menggunakan zat pewarna dari Cochineal ini pun menjadi haram pula dikonsumsi umat.

Namun Imam madzhab yang lain, menetapkan hukum yang berbeda, karena landasan dan tinjauannya masing-masing. Dalam kitab-kitab Fiqh, serangga itu disebut Hasyarat. Binatang ini ada yang darahnya mengalir (Laha damun sailun), dan ada pula yang darahnya tidak mengalir (Laisa laha damun sailun). Menurut para Fuqoha (para ahli Fiqh), serangga yang darahnya mengalir, maka bangkainya adalah najis, sedangkan yang darahnya tidak mengalir, bangkainya dinyatakan suci.
Dalam pandangan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, serangga itu hukumnya haram. Sebab ia termasuk Khabaits (hewan yang menjijikkan), sejalan dengan kandungan ayat yang artinya: “…Dan ia (Rosul) mengharamkan yang khabaits/menjijikkan.” (Q.S. 7:157).

Adapun Imam Malik, Ibn Abi Layla dan Auza’i berpendapat, serangga itu halal selama tidak membahayakan. Dan Cochineal adalah jenis serangga yang tidak membahayakan, bahkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat pewarna makanan. Itu artinya hewan ini mengandung bahan yang baik. Berkenaan dengan hal ini layak kita perhatikan petunjuk Al-Quran:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya.” (Q.S. 5: 88).
Juga makna ayat: “…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (Q.S. 7: 157).

Dengan pemahaman ini, ada kaidah Fiqh yang menyatakan: “Al-ashlu fil-manafi’ al-ibahah”. Artinya: Hukum asal segala yang bermanfaat itu adalah mubah/boleh atau halal.
Selain itu, ada pula pendapat yang ulama memandang dan meng-qiyashkan (menganalogikan), serangga ini termasuk jenis belalang. Dan para Fuqoha telah sepakat bahwa belalang hukumnya halal berdasarkan ketetapan dari Hadits Nabi saw. Bahkan bangkainya pun boleh dimakan.
Dengan demikian, maka menurut pandangan para Imam ini, zat pewarna yang dihasilkan dari Cochineal hukumnya halal, sehingga dapat dipergunakan untuk pewarna produk konsumsi. Para ulama Fiqh juga sepakat, bangkai serangga yang darahnya tidak mengalir itu suci. Dengan demikian, pemanfaatan serangga Cochineal tersebut jelas tidak ada masalah.
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/detil_page/48/2269

Komentar